Sabtu, 18 Juni 2011

Ajari si Kecil Menghargai Perbedaan

Membangun kemampuan berinteraksi dan saling menghormati dengan orang dari berbagai kalangan tidak dapat dilakukan secara instan maupun dipelajari lewat nasihat semata. Anak-anak memerlukan contoh yang nyata. Sebagai orang tua, Anda biasanya menjadi role model utama bagi si Kecil. Anak-anak telah menyadari adanya perbedaan sejak usia sangat muda, meski orang dewasa di sekitarnya tidak pernah membicarakannya. Meski menyadari adanya perbedaan, namun mereka belum memahami apa arti perbedaan tersebut. Dari orang-orang dewasa di sekitarnya ia belajar tentang arti dan sikap dalam menghadapi perbedaan.

Diane Maluso, Associate Professor of Psychology di Elmira College, juga menekankan pentingnya peran orang tua tersebut. “Anak-anak bekajar tentang sikap orang tua terhadap orang lain dari cara orang tuanya berinteraksi dan dengan ungkapan-ungapan yang dilontarkan mengenai orang lain”, paparnya. Lewat sikap serta bahasa yang digunakan orang tuanya terhadap orang lain, anak-anak belajar tentang konsep diri dan relasinya dengan orang lain.

Jika Anda memiliki hubungan baik serta menunjukkan rasa hormat pada orang yang berbeda baik secara fisik, gender, sosial maupun ekonomi maka anak akan belajar bahwa semua perbedaan tersebut bukanlah sesuatu yang harus dipermasalahkan. Namun kalau anda justru kerap meremehkan atau berbicara dengan tidak sopan pada orang-orang tertentu, jangan heran jika si Kecil pun akan melakukan hal yang sama. Contoh paling sederhana, ingat-ingatlah cara memperlakukan pembantu rumah tangga dan supir di rumah. Kalau Anda kerap berbicara dengan nada memerintah dan meremehkan, siap-siap saja mendengar hal yang sama keluar dari mulut si Kecil.

Pada usia Sekolah Dasar, pemahaman anak akan status sosial dirinya serta teman-temannya juga makin meningkat dan mendorong terbentuknya sikap-sikap tertentu yang berkaitan dengan status sosialnya. Namun begitu, pada usia ini sikap egosentris anak-anak juga telah berkurang dibanding usia balita hingga mereka mulai mampu memfokuskan diri pada kualitas internal seperti kebaikan dan keburukan seseorang, dibandingkan perbedaan eksternal seperti perbedaan ras maupun kelas sosial. Pada tahap ini, lagi-lagi orang tua sangat berperan dalam mendorong anak-anaknya untuk mengeksplorasi perbedaan yang ada, memberikan penjelasan terhadap pertanyaan-pertanyaan mereka, dan melibatkan mereka dalam kegiatan-kegiatan yang membuka ruang berinteraksi dengan berbagai kalangan.

Berikut beberapa tips untuk mendorong anak-anak agar menghargai dan tidak membeda-bedakan orang dari berbagai kalangan:

* Buka kesempatan untuk mempelajari berbagai perbedaan, seperti berinteraksi dengan berbagai kalangan, sebisa mungkin dimulai dari lingkungan terdekat seperti teman-teman bermainnya, kerabat hingga kegiatan-kegiatan rekreasi.
* Pilih mainan, buku dan film yang merefleksikan berbagai jenis individu yang berbeda sepertui usia, profesi, latar belakang sosial – ekonomi, suku bangsa dan lain-lain
* Berikan kesempatan pada anak-anak untuk bermain bersama teman-teman seusianya. Bermain adalah cara terbaik bagi anak-anak untuk belajar berinteraksi dan bekerjasama dengan orang lain.
* Kemampuan memahami apa yang dirasakan orang lain atau berempati adalah kemampuan yang penting dimiliki oelah anak. Untuk menumbuhkannya, bantu anak mengungkapkan perasaaan mereka dan dorong mereka untuk membayangkan perasaan orang lain. Dengan begitu, anak akan memahami bahwa seperti dirinya, orang lain juga senang bila diperlakukan dengan baik dan sedih bila diperlakukan tidak baik
* Saat anak-anak semakin besar dan mengajukan pertanyaan tentang berbagai perbedaan yang ada, dukunglah dengan memberikan informasi yang sesuai dengan usia mereka.

tim balita-anda.com
(http://www.sahabatnestle.co.id/)

Jumat, 17 Juni 2011

Komunikasi pada anak

Anak menangkap pesan kekerasan melalui komunikasi yang dibangun lingkungannya setiap hari. Perlahan tapi pasti, komunikasi dengan kekerasan akan merusak fitrah anak yang penuh dengan kelembutan. Mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang sulit diatur, pembangkang, dan keras hati. “Kamu ini kok sama sekali tidak pernah bersyukur sih!” Ibu Dewi memelototi Firman (5 tahun) yang tidak mau membuka mulutnya untuk memakan sayur sop. “Ayo makan sop ini, kalau tidak Mama pukul!” Namun, Firman tak juga menurut. Ia malah lari ke kamar dan membanting pintu.

Perekat keluarga

Menurut Ery Soekresno, Psi, Pengelola Sekolah Kebon Maen, Cilangkap-Cimanggis-Depok, komunikasi adalah hal yang sangat penting dalam keluarga. Menurutnya, komunikasi berfungsi sebagai perekat keluarga. Ery mencontohkan, berdasarkan hasil penelitian pada tahun 1996, faktor penyebab tingginya angka perceraian di Amerika ternyata bukan disebabkan kehadiran orang ketiga. Karena di mata masyarakat Amerika umumnya, perzinahan sudah dianggap halal. Namun, penyebab yang tertinggi adalah faktor terhambatnya komunikasi suami istri. Komunikasi yang tidak lancar antara suami istri akan berdampak pula terhadap kelancaran komunikasi pada anak.
Komunikasi antara orang tua dan anak adalah sebuah proses pengiriman pesan dimana pesan yang diterima sama dengan pesan yang dikirim. Komunikasi dengan kekerasan, menurut Ery adalah, penyampaian pesan yang dilakukan secara negatif. Termasuk dalam komunikasi secara negatif adalah saat orangtua menggunakan bahasa yang tidak indah. “Bahasa yang jelek tidak menyenangkan anak, akibatnya anak tidak mau mendengarkan orangtua,” tutur psikolog yang aktif menyerukan kampanye komunikasi tanpa kekerasan ini.
Komunikasi dengan kekerasan tidak melulu berarti disampaikan dengan bahasa-bahasa yang tidak baik, seperti penggunaan kata yang berasal dari ‘kebun binatang’ atau kata hinaan lainnya. Penggunaan kata seperti yang diungkapkan Ibu Dewi, “Kamu ini kok sama sekali tidak pernah bersyukur sih!” juga bermasalah. Coba ditimbang secara jujur, betulkah ungkapan itu? Selain menggunakan kata ‘samasekali’, ditambah pula kata ‘tidakpernah’. Artinya: tidak pernah sama sekali! Padahal, sang anak toh hanya kadang-kadang saja berbuat seperti itu. Bahasa bernuansa ‘kekerasan’ ini juga diperkuat dengan bahasa non verbalnya, yaitu nada bicara yang tinggi, mata melotot, dengan tangan yang sudah terangkat untuk memukul.

Verbal dan non verbal

Ada dua bentuk komunikasi, yaitu verbal (bahasa) dan non-verbal (bahasa tubuh). Artinya, saat orangtua berbicara kepada anak, bukan hanya kata-katanya saja yang ditangkap oleh anak. Menurut Ery, di bawah usia satu tahun, mungkin mereka hanya menangkap 10% kata yang diucapkan ibu. Sisanya lebih kepada bahasa non-verbal. Ery mencontohkan, saat bayi berbicara dengan mengeluarkan kata-kata yang tidak jelas. Misalnya bah, bah, bah. Kebetulan ibu ini membahasakan bapaknya itu abah. Ibu memberikan respon sambil menunjuk pada suaminya atau menunjukkan fotonya, “Oh Abah ya, Abah. Ya, itu Abah.”Artinya, anak itu memahami sebuah kata itu kan dari bahasa non verbal karena setiap kali dia ngomong bah, bah, bah kok yang ditunjuk orang itu. Akhirnya kata itu memiliki arti bagi dirinya. Meskipun saat itu anak belum mengerti betul tentang siapa sebenarnya Abah.

Menurut Ery, orangtua perlu terus menyadari bahwa bahasa non-verbal yang dipakainya sangat penting bagi anak. Meski bahasa yang digunakan orangtua positif, namun bila komunikasi non-verbalnya negatif, maka pesan yang diterima anak adalah seperti yang ia lihat. Misalnya, seorang ibu mengatakan pada anaknya, “Ibu tuh sebenarnya sayang sama kamu,” tapi intonasinya yang tinggi atau dilakukan sambil mencubit anak. Tak salah bila anak akan berpikir, “Oh sayang itu artinya sama dengan mencubit ya.” Akhirnya, saat bertemu dengan sepupu, adik atau temannya atau dia dengan adiknya dia menyampaikan sayangnya dengan mencubit. “Padahal seharusnya menyampaikan rasa sayang harus diiringi dengan pelukan dan suara yang lembut agar anak mampu menangkap pesan yang disampaikan dengan benar,” jelas istri dari Irwan Rinaldi ini.

Dampak komunikasi dengan kekerasan

Dampak dari komunikasi dengan kekerasan terhadap anak-anak adalah hilangnya fitrah kelembutan. Berdasarkan pengalamannya, anak yang terbiasa dengan kekerasan, sejak kecil sudah terlihat. Karena terbiasa dengan kekerasan, ia pun akan membutuhkannya setiap kali akan melakukan sesuatu. Hal itu terjadi karena fitrah kelembutannya sudah melemah.

Komunikasi dengan kekerasan juga akan membuat anak tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkan pendapatnya. Ery mencontohkan adegan yang terjadi pada sebuah keluarga saat mereka menanti datangnya waktu maghrib untuk berbuka puasa. Di hari pertama, ibu menyediakan menu lengkap, ada kue, es kelapa, gorengan, disamping menu utama hari itu. Di hari kedua, sang ibu tidak menyediakan gorengan dalam deretan menu berbuka. Namun, ia menggantikannya dengan makanan kesukaan anak-anak yang lain, yaitu puding karamel. Anaknya yang berusia 5 tahun berkomentar, “Mi, kok hari ini nggak ada gorengan?” Sang Ibu, yang kebetulan masih sibuk dengan urusan dapur langsung bereaksi dengan melakukan interpretasi dan evaluasi. ” Kamu ini kok nggak bersyukur banget sih?” Anak yang semula hanya sekedar berkomentar tentu menjadi takut untuk menyampaikan komentar pada kesepatan lain. Apalagi bila hal seperti itu terjadi berulang kali.
Lebih berbahaya lagi, menurut Ery, bila anak menjadi terbiasa melakukan pekerjaan secara sembunyi-sembunyi. Bila orangtua tidak segera mengubah cara berkomunikasinya, maka dampak itu akan terpelihara sampai anak tumbuh dewasa.

Dampak lainnya adalah menjadi terbiasa berpikir negatif. Artinya, ketika ada orang bermaksud baik terhadap anak, dia tidak menganggap itu sebagai sesuatu yang baik. Sebaliknya, anak akan berpikir, “Apa sih maksudnya kamu berbuat baik sama aku?” Menurut Ery, hal itu terjadi karena orangtua terbiasa berpikir negatif terhadap dirinya yang terwujud dengan komunikasi yang negatif. Akhirnya, yang terbangun dalam benak anak adalah apa pun yang dilakukannya tidak ada yang benar. Misalnya, saat seorang anak sedang duduk-duduk di dalam rumah sementara ibunya sedang menyapu lantai. Sang Ibu mengatakan “Aduh Kakak, tidur-tiduran aja, enggak mau membantu ibu nyapu,” Sebaliknya, saat sang anak sedang menyapu lantai, Ibu berkomentar, “Wah tumben nih anak ibu nyapu.” Komentar seperti itu akan membuat anak menjadi tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan karena menjadi serba salah.

Komunikasi yang baik saat ibu sedang menyapu sementara anaknya sedang tidur-tiduran adalah “Ibu seneng deh kalau kakak mau membantu Ibu nyapu. Kalau kakak membantu Ibu pekerjaan rumah ibu cepat selesai. Habis itu kita bisa bermain dan cerita-cerita”. Pesan akan sampai tanpa perlu menyakiti perasaan anak. Anak pun menjadi lebih mudah diajak bekerjasama. Saat anak sedang menyapu, seharusnya Ibu menyampaikan penghargaannya dengan pesan yang positif, tanpa perlu menyindir anak.Menurut Ery, faktor pembentuk utama dan pertama adalah keluarga. Bila rumah sudah berfungsi sebagai tempat yang memberikan kesejukan untuk anak-anak, maka ke mana pun anak pergi, rumah tetap menjadi referensi utama bagi anak. Kesejukan itulah yang perlu dibangun oleh orangtua melalui komunikasi tanpa kekerasan. Saat anak memiliki masalah, mereka tahu kemana harus berbicara. Saat yang paling berpengaruh bagi anak adalah sebelum anak mencapai usia balighnya karena pada masa itu anak masih mudah untuk berubah. Namun, perubahan yang paling utama dan pertama harus berawal dari para orangtua. Wallahu’alam

sumber : http://beranda.blogsome.com/2008/04/16/386/

Kecoa Penyebab Asma Pada Anak

Para peneliti di Amerika Serikat telah mengidentifikasi kecoa sebagai salah satu faktor penyebab meningkatnya kasus asma di kalangan anak-anak.

Di sejumlah kawasan permukiman di New York City, di mana kasus asma banyak ditemukan, anak-anak sering terpapar alergen dari kecoa sehinga mereka menjadi sangat rentan terhadap serangga tersebut.  Kasus asma di New York City tercatat mencapai 19 persen, atau hampir satu dalam lima anak, sementara di permukiman lainnya kasusnya hanya mencapai tiga persen saja.

Lalulintas yang padat, asap industri, dan sumber polusi lainnya di luar rumah, dituding sebagai penyebab penyakit gangguan pernafasan itu pada masa lalu.

Namun para ahli dari Columbia University menemukan, anak-anak yang tinggal di kawasan permukiman dengan prevalensi asma yang tinggi memiliki kemungkinan dua kali lebih tinggi memiliki antibodi terhadap protein kecoa di dalam darah mereka, suatu pertanda bahwa mereka telah terpapar serangga tersebut dan diduga alergi terhadap hewan itu.

Selain itu, rumah di permukiman yang memiliki penderita asma, memiliki lebih banyak penyebab alergi yang dihasilkan oleh kecoa pada debu rumah tangga.

"Studi tersebut memberi bukti lebih jauh bahwa paparan terhadap kecoa adalah bagian dari cerita itu. Penyebab alergi kecoa benar-benar dapat menjadi penyebab perbedaan prevalensi asma, bahkan di lingkungan kota seperti New York City", kata Matthew Perzanoweski, penulis studi tersebut seperti dikutip Reuters.

Dalam riset dipublikasikan Journal of Allergy and Clinical Immunology itu, Perzanowski dan timnya mengunjungi rumah 239 anak berusia tujuh dan delapan tahun. Separuh dari mereka tinggal di daerah yang memiliki angka tinggi penderita asma.

Penelitian sebelumnya telah mengaitkan kemiskinan dengan peningkatan kasus asma di kalangan anak-anak. Untuk menghilangkan pengaruh tingkat pendapatan dan hasilnya, para peneliti kali ini hanya melibatkan keluarga yang memiliki  asuransi kesehatan dengan penghasilan menengah. Tujuannya adalah untuk memastikan mereka memiliki penghasilan yang sama dan akses ke perawatan kesehatan.

Dari riset tercatat bahwa lebih dari 50 persen anak-anak sebelumnya sudah menderita asma. Selama kunjungan, para peneliti  mengumpulkan debu dari tempat tidur anak-anak, lalu mengambil contoh darah untuk meneliti antibodi terhadap beragam penyebab alergi yang berkaitan dengan asma --termasuk anjing, kucing, tikus, kutu debu dan protein kecoa.

Hampir 1 dari 4 anak di berbagai permukiman yang memiliki penderita asma tampaknya alergi terhadap kecoa, dibandingkan dengan 1 dari 10 anak yang tinggal di berbagai daerah tempat asma tak umum ditemukan.

Kecoa meninggalkan protein yang dihirup orang dan menjadi sumber alergi, yang pada gilirannya meningkatkan kemungkinan mereka akan menderita asma, kata Perzanowski.

Rumah di permukiman dengan tingkat kasus asma yang tinggi juga memiliki konsentrasi lebih tinggi bahan penyebab alergi kecoa, serta penyebab alergi yang berkaitan dengan tikus dan kucing. Selain itu, anak-anak yang alergi terhadap kecoa dan tikus lebih mungkin untuk menderita asma, kata Joanne Sordillo dari Channing Laboratory of Brigham and Women`s Hospital, Boston.

"Pajanan terhadap penyebab alergi tikus atau kecoa mungkin meningkatkan risiko alergi, yang pada gilirannya berkaitan dengan pengembangan asma pada anak-anak," katanya.

Kendati kepekaan protein kecoa lebih umum ditemukan pada anak-anak di lingkungan yang memiliki banyak penderita asma, secara keseluruhan, anak-anak yang alergi terhadap debu dan kucing lebih mungkin untuk menderita asma.


(Sumber : Kompas.com)